Lintang Songo...
Adalah suatu majelis dzikir yg sekaligus wadah para generasi muda untuk membangkitkan rasa cinta kpd Rosululloh saw.
Majelis LINTANG SONGO
berdiri ditengah tengah masyarakat yg mayoritas masih awam dan gersang, khususnya dalam ilmu2 agama,
LINTANG SONGO
adalah majelis yg berada dibawah naungan
GP ANSOR PAC NGADIROJO, lorok pacitan.
Sholawat dn lantunan vocalis yg masih terkesan fals dan apa adanya, tak
membuat lemah para pecinta Nabi. Yang Justru dengan kekurangan2 itu
merupakan keunikan dn daya tarik tersendiri....
Selamat bergabung dn turut bersholawat kpd Nabi muhammad, semoga kelak kita semua mendapat syafaatnya, bijiwarih khoiro maq'ad.
BANSER NGADIROJO PACITAN
Memberi Informasi Pasti
Categories
agama
(20)
BANSER
(21)
karang taruna
(4)
kegiatan desa
(6)
Olahraga
(4)
Pendidikan
(18)
Pengetahuan
(20)
Kamis, 09 Februari 2017
Rabu, 01 Februari 2017
Menjadi Pengajak yang Bijak
Mengajak memiliki batasan-batasan.
Setidaknya ada dua tips yang bisa
dipegang agar seseorang tak melampaui batasan tugas sebagai seorang
pengajak. Pertama, muhâsabah (introspeksi). Meneliti aib orang yang
paling bagus adalah dimulai dari diri sendiri. Muhasabah akan
mengantarkan kita pada prioritas perbaikan kualitas diri sendiri, yang
secara otomatis akan membawa pengaruh pada perbaikan lingkungan
sekitarnya. Sebagaimana dikatakan Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq,
“Ashlih nafsaka yashluh lakan nâs. Perbaikilah dirimu maka orang lain
akan berbuat baik kepadamu.”
Kedua, tawâdlu‘ (rendah hati). Sikap ini tidak sulit tapi memang sangat berat. Rendah hati berbeda dari rendah diri. Tawaduk adalah kemenangan jiwa dari keinginan ego yang senantiasa merasa unggul: merasa paling benar, paling pintar, paling saleh, dan seterusnya—yang ujungnya meremehkan orang lain. Tawaduk membuahkan sikap menghargai orang lain, sabar, dan menghormati proses. Dalam perjalanan dakwah, tawaduk terbukti lebih menyedot banyak simpati dan menjadi salah satu kunci suksesnya sebuah seruan kebaikan. Fakta ini bisa kita lihat secara jelas dalam perjuangan Nabi dan pendakwah generasi terdahulu yang tercatat sejarah hingga kini. Wallâhu a‘lam bish-shwâb.
Kedua, tawâdlu‘ (rendah hati). Sikap ini tidak sulit tapi memang sangat berat. Rendah hati berbeda dari rendah diri. Tawaduk adalah kemenangan jiwa dari keinginan ego yang senantiasa merasa unggul: merasa paling benar, paling pintar, paling saleh, dan seterusnya—yang ujungnya meremehkan orang lain. Tawaduk membuahkan sikap menghargai orang lain, sabar, dan menghormati proses. Dalam perjalanan dakwah, tawaduk terbukti lebih menyedot banyak simpati dan menjadi salah satu kunci suksesnya sebuah seruan kebaikan. Fakta ini bisa kita lihat secara jelas dalam perjuangan Nabi dan pendakwah generasi terdahulu yang tercatat sejarah hingga kini. Wallâhu a‘lam bish-shwâb.
Doa Mbah Umar Tumbu Pacitan untuk NU di Hadapan Kang Said
PAC G.P ANSOR NGADIROJO |
KH Umar Tumbu merupakan figur Kiai yang nasihatnya selalu menyejukkan.
Kehadirannya selalu dirindukan oleh umat. Wajahnya yang penuh keteduhan
menjadikan siapapun ingin selalu dekat berada di sampingnya.
Banyak
ulama yang terkesan dengan kepribadian dan kharismatiknya Mbah Umar
Tumbu. Di antara ulama yang memiliki kedekatan dengannya adalah Habib
Luthfi bin Yahya dan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj (Kang Said).
Kang
Said memiliki kesan tersendiri terhadap kiai yang menjadi Mustasyar
PCNU Pacitan ini. Tiap kali berkunjung ke Pacitan, pertama yang
ditanyakan oleh Kiai Said adalah, di mana dan bagaimana kabar Mbah Umar.
"Mbah Umar pundi (Mbah Umar mana?) Mbah Umar sehat geh,"
tanya Kang Said tiap kali sampai di lokasi acara. Hal ini menunjukkan
kerinduan dan penghormatan Kang Said terhadap ulama sepuh yang menjadi
pelita bagi Nahdlatul Ulama itu.
Terakhir, dalam sebuah acara
yang digelar oleh PAC GP Ansor NU Ngadirojo, Pacitan, Jawa Timur, Rabu
31 Agustus 2016, Kang Said berkesempatan bertemu dan bersilaturahmi
kembali dengan Mbah Umar Tumbu, yang waktu itu kondisi kesehatannya
sudah mulai menurun.
Pada kesempatan itu, Kang Said sempat
meminta nasihat, doa, dan restu kepada Mbah Umar agar senantiasa
istiqamah dalam memimpin Jamiyyah Nahdlatul Ulama.
Di situ Mbah
Umar mendoakan agar Nahdlatul Ulama menjadi semakin besar dan bisa
menjadi penuntun umat Islam. Selain itu, Mbah Umar berdoa agar umat
Islam selalu dijaga persatuannya dan diberikan keselamatan dunia dan
akhirat.
KH Umar Syahid biasa disapa dengan Mbah Umar Tumbu. Ia
wafat pada Rabu (4/1) malam pukul 22.55 di RSUD Pacitan. Pada masa
remajanya ia menjadi murid KH Dimyathi Abdullah di Pesantren Tremas
Pacitan. Selama mondok, Mbah Umar tergolong santri yang kekurangan. Ia
terbiasa hidup prihatin, bahkan konon ia tidak memiliki bekal untuk
nyantri. Namun hal itu tidak menyurutkan kegigihan dan ketekunannya
untuk belajar.
Cintanya terhadap NU dan pesantren ditunjukkanya
dengan tidak pernah absen menghadiri acara yang digelar oleh NU atau
pesantren. Ia hadir di tengah para santri dan selalu menunggui acara
hingga selesai. Tidak hanya di Pacitan, di tengah kondisi fisiknya yang
sudah sepuh, Mbah Umar masih sering menghadiri kegiatan keagamaan di
Solo, Wonogiri, Ponorogo, dan Madiun. (Zaenal Faizin/Alhafiz K)
Sudimoro Bersholawat
Mari bersholawat Sahabat,.....!
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَن صلَّى عليَّ صلاةً واحدةً ، صَلى اللهُ عليه عَشْرَ صَلَوَاتٍ، وحُطَّتْ عنه عَشْرُ خَطياتٍ ، ورُفِعَتْ له عَشْرُ دَرَجَاتٍ
“Barangsiapa
yang mengucapkan shalawat kepadaku satu kali maka Allah akan
bershalawat baginya sepuluh kali, dan digugurkan sepuluh kesalahan
(dosa)nya, serta ditinggikan baginya sepuluh derajat/tingkatan (di surga
kelak)”.
Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
anjuran memperbanyak shalawat tersebut, karena ini merupakan sebab
turunnya rahmat, pengampunan dan pahala yang berlipatganda dari Allah Ta’ala.
dalam rangka Pelantikan Pengurus Ranting NU Se- Kecamatan Sudimoro Kabupaaten Pacitan Warga NU Sudimoro Mengajak masyarakat sudimoro khususnya dan umat Islam pada umumnya untuk bersholawat Nabi, dengan harapan kita bisa mendapatkan Syafaat Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
اللهم صل على سيدنا محمدSenin, 30 Januari 2017
Rasulullah SAW Perintahkan Sunan Ampel bawa Islam Ahlussunnah wal Jama’ah An Nahdliyyah ke Indonesia
Sejarah berdirinya organisasi Islam ahlussunnah wal jama’ah Nahdlatul Ulama atau NU tidak lepas dari kegelisahan para ulama Nusantara terhadap munculnya gerakan-gerakan Islam pembaharu yang berusaha menghapus warisan-warisan dan ajaran-ajaran ulama salaf.
Para ulama Nusantara merespon masalah ini dengan melalukan musyawarah. Ada diantara mereka mengusulkan dibentuknya suatu Jam’iyyah, ada pula yang berpendapat agar memperkuat Sarekat Islam yang sudah ada saat itu, dan lain sebagainya. Saat itu memang situasinya sangatlah genting karena amaliah-amaliah ahlussunnah seperti tabarukan, meminta barokah kepada ulama, dan sebagainya dituduh sesat, bid’ah, dan syirik oleh gerakan pembaharu tersebut. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya para ulama sepakat untuk membentuk sebuah wadah Jam’iyah yang sekarang dikenal dengan sebutan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU).
Menurut penuturan KHR As’ad Syamsul ‘Arifin, kiai kharismatik dan pengasuh Ponpes Salafiyyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo, seorang kiai yang menjembatani antara KH Syaichona Cholil Bangkalan dan KH. Hasyim Asy’ari dalam pembentukan Nahdlatul Ulama, mengatakan bahwa saat itu ada seorang ulama yang berkata kepada Kiai:
“Kiai, Saya menemukan satu sejarah tulisannya Sunan Ampel. Sunan Ampel menulis: ‘Saya waktu mengaji, saat oleh ayahanda dikirim ke Madinah, pernah bermimpi jumpa Nabi SAW. (Nabi berkata): ‘Rahmatullah… (Raden Rahmat), Islam Ahlussunnah wal Jama’ah ini bawalah hijrah ke Indonesia, karena ditempat kelahirannya ini tidak mampu melaksanakan syariat Islam Ahlussunnah wal Jama’ah‘”.
Menyimak wasita tersebut, ulama Indonesia berembuk ditugaskan untuk melaksanakannya. Sehingga mereka pun beristikharah ke beberapa Sunan, paling sedikit 40 hari dan ada 4 orang yang ditugaskan ke Madinah.
Atau dapat dilihat melalui video berjudul “Sejarah Nahdlatul Ulama (NU)” yang telah dilengkapi terjemah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris pada menit ke 17:00 berikut ini: klik video ke 2 https://youtu.be/2XoGvahdar8
Dan Alhamdulillah, hingga saat ini dan insya Allah sampai kiamat tiba, Nahdlatul Ulama telah menjadi benteng ajaran Islam ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) di Indonesia dan di seluruh dunia. Tidak ada satu pun ormas Islam di dunia ini yang mampu menyaingi kebesaran Nahdlatul Ulama yang senantiasa mengajarkan dan mengedepankan Islam yang ramah, Islam yang Rahmatan Lil’alamin, Islam yang sesuai dengan dakwah risalah Nabi Muhammad Rasulullah SAW. (Muslimedianews)
Rijalul Ansor
Rijalul Ansor adalah Majelis Dzikir dan Sholawat. Rijalul Ansor memiliki status sebagailembaga semi otonom yang dibentuk oleh Gerakan Pemuda Ansor Ansor sebagai implementasi Visi Revitalisasi Nilai dan Tradisi dan Misi Internalisasi nilai Aswaja dan sifatur rasul dalam Gerakan Pemuda Ansor.
Majelis ini dibentuk mulai dari Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Cabang, Pimpinan Anak Cabang dan Pimpinan ranting di seluruh Indonesia.
Majelis Dzikir dan Sholawat Rijalul Ansor bersifat semi otonom di setiap tingkatan yang diangkat, disahkan dan diberhentikan oleh pimpinan Gerakan Pemuda Ansor di masing-masing tingkat kepengurusan.
Fungsi:
- Menjaga dan mempertahankan paham Aqidah Ahlus sunnah wal Jama’ah ala Nahdlatul Ulama
- Sebagai upaya konsolidasi kiai dan ulama muda Gerakan Pemuda Ansor di setiap tingkatan.
Tugas:
- Mensyiarkan ajaran-ajaran dan amalan-amalan keagamaan yang telah diajarkan oleh paramasayyih Nahdlatul Ulama dan para Wali penyebar agama Islam di Nusantara
- Melaksanakan program-program kegiatan peringatan hari besar Islam sebagai upaya dakwah Islam Ahlussunah wal Jama’ah ala Nahdlatul Ulama.
Tanggung – jawab
- Menjaga, memelihara dan menjamin kelangsungan hidup dan kejayaan aqidah ahlussunah wal jama’ah ala Nahdlatul Ulama
- Menjaga gerakan Islam Indonesia tetap sebagai agama Islam yang rahmatan lil alamin dan menolak cara-cara kekerasan atas nama Islam.
Sejarah Ansor
Kelahiran Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) diwarnai oleh semangat perjuangan, nasionalisme, pembebasan, dan epos kepahlawanan. GP Ansor terlahir dalam suasana keterpaduan antara kepeloporan pemuda pasca-Sumpah Pemuda, semangat kebangsaan, kerakyatan, dan sekaligus spirit keagamaan. Karenanya, kisah Laskar Hizbullah, Barisan Kepanduan Ansor, dan Banser (Barisan Serbaguna) sebagai bentuk perjuangan Ansor nyaris melegenda. Terutama, saat perjuangan fisik melawan penjajahan dan penumpasan G 30 S/PKI, peran Ansor sangat menonjol.
Ansor dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama
Ansor dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) dari situasi ”konflik” internal dan tuntutan kebutuhan alamiah. Berawal dari perbedaan antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang muncul di tubuh Nahdlatul Wathan, organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan Islam, pembinaan mubaligh, dan pembinaan kader. KH Abdul Wahab Hasbullah, tokoh tradisional dan KH Mas Mansyur yang berhaluan modernis, akhirnya menempuh arus gerakan yang berbeda justru saat tengah tumbuhnya semangat untuk mendirikan organisasi kepemudaan Islam.
Dua tahun setelah perpecahan itu, pada 1924 para pemuda yang mendukung KH Abdul Wahab –yang kemudian menjadi pendiri NU– membentuk wadah dengan nama Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air). Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gerakan Pemuda Ansor setelah sebelumnya mengalami perubahan nama seperti Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO).
Nama Ansor ini merupakan saran KH. Abdul Wahab, “ulama besar” sekaligus guru besar kaum muda saat itu, yang diambil dari nama kehormatan yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Madinah yang telah berjasa dalam perjuangan membela dan menegakkan agama Allah. Dengan demikian ANO dimaksudkan dapat mengambil hikmah serta tauladan terhadap sikap, perilaku dan semangat perjuangan para sahabat Nabi yang mendapat predikat Ansor tersebut. Gerakan ANO (yang kelak disebut GP Ansor) harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai dasar Sahabat Ansor, yakni sebagi penolong, pejuang dan bahkan pelopor dalam menyiarkan, menegakkan dan membentengi ajaran Islam. Inilah komitmen awal yang harus dipegang teguh setiap anggota ANO (GP Ansor).
Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara formal organisatoris belum tercantum dalam struktur organisasi NU. Hubungan ANO dengan NU saat itu masih bersifat hubungan pribadi antar tokoh. Baru pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 10 Muharram 1353 H atau 24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen) pemuda NU dengan pengurus antara lain: Ketua H.M. Thohir Bakri; Wakil Ketua Abdullah Oebayd; Sekretaris H. Achmad Barawi dan Abdus Salam.
Dalam perkembangannya secara diam-diam khususnya ANO Cabang Malang, mengembangkan organisasi gerakan kepanduan yang disebut Banoe (Barisan Ansor Nahdlatul Oelama) yang kelak disebut BANSER (Barisan Serbaguna). Dalam Kongres II ANO di Malang tahun 1937. Di Kongres ini, Banoe menunjukkan kebolehan pertamakalinya dalam baris berbaris dengan mengenakan seragam dengan Komandan Moh. Syamsul Islam yang juga Ketua ANO Cabang Malang. Sedangkan instruktur umum Banoe Malang adalah Mayor TNI Hamid Rusydi, tokoh yang namaya tetap dikenang dan bahkan diabadikan sebagai sama salah satu jalan di kota Malang.
Salah satu keputusan penting Kongres II ANO di Malang tersebut adalah didirikannya Banoe di tiap cabang ANO. Selain itu, menyempurnakan Anggaran Rumah Tangga ANO terutama yang menyangkut soal Banoe.
Pada masa pendudukan Jepang organisasi-organisasi pemuda diberangus oleh pemerintah kolonial Jepang termasuk ANO. Setelah revolusi fisik (1945 – 1949) usai, tokoh ANO Surabaya, Moh. Chusaini Tiway, melempar mengemukakan ide untuk mengaktifkan kembali ANO. Ide ini mendapat sambutan positif dari KH. Wachid Hasyim, Menteri Agama RIS kala itu, maka pada tanggal 14 Desember 1949 lahir kesepakatan membangun kembali ANO dengan nama baru Gerakan Pemuda Ansor, disingkat Pemuda Ansor (kini lebih pupuler disingkat GP Ansor).
GP Ansor hingga saat ini telah berkembang sedemikan rupa menjadi organisasi kemasyarakatan pemuda di Indonesia yang memiliki watak kepemudaan, kerakyatan, keislaman dan kebangsaan. GP Ansor hingga saat ini telah berkembang memiliki 433 Cabang (Tingkat Kabupaten/Kota) di bawah koordinasi 32 Pengurus Wilayah (Tingkat Provinsi) hingga ke tingkat desa. Ditambah dengan kemampuannya mengelola keanggotaan khusus BANSER (Barisan Ansor Serbaguna) yang memiliki kualitas dan kekuatan tersendiri di tengah masyarakat, dan juga Poros Ulama Muda yang tergabung di Majelis Dzikir dan Shalawat RIJALUL ANSOR.
Di sepanjang sejarah perjalanan bangsa, dengan kemampuan dan kekuatan tersebut GP Ansor memiliki peran strategis dan signifikan dalam perkembangan masyarakat Indonesia. GP Ansor mampu mempertahankan eksistensi dirinya, mampu mendorong percepatan mobilitas sosial, politik dan kebudayaan bagi anggotanya, serta mampu menunjukkan kualitas peran maupun kualitas keanggotaannya. GP Ansor tetap eksis dalam setiap episode sejarah perjalan bangsa dan tetap menempati posisi dan peran yang stategis dalm setiap pergantian kepemimpinan nasional.
GP Ansor adalah masa depan NU dan Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)